Khadijah
adalah seorang perempuan terhormat kaya raya yang sukses berkat
kelihaiannya dalam menjalankan usaha perdagangannya. Ia dijuluki ‘Afifah Thahirah atau
perempuan suci oleh orang-orang disekitarnya. Ia pernah menikah dua
kali. Keduanya wafat ketika masih berstatus sebagai suaminya. Setelah
itu Khadijah memutuskan untuk tidak lagi menikah meski beberapa lelaki
terhormat datang melamarnya.
Namun Allah menghendaki lain. Sejak ia
mendengar sendiri laporan dari pembantu setianya, Maisaroh, tentang
bagaimana santunnya seorang pemuda bernama Muhammad yang ditunjuknya
untuk membantu menjalankan bisnisnya, hatinya tiba-tiba hidup kembali.
Sebelum itu ia memang pernah mendengar kabar bahwa pemuda Quraisy
ponakan Abu Thalib, cucu Abdul Mutthalib itu memiliki akhlak yang
sungguh mulia. Ia dikenal sebagai pemuda yang jujur dan sopan Sangat
berbeda dengan kebanyakan pemuda Mekah yang gemar bermabuk-mabukan dan
pesta pora.
Hal inilah yang membuat Khadijah berpikir ulang. “ Pasti
ada sesuatu yang istimewa dalam diri anak muda ini. Dari begitu banyak
orang yang pernah aku serahi tugas menjalankan perniagaan tak satupun
yang pernah pulang dengan membawa berkah yang demikian berlimpah. Dan
ini semua berkat kejujuran dan kesantunannya ”, pikirnya keheranan. “
Walaupun beda usia antara aku dan dirinya cukup jauh, rasanya bukan hal
mustahil bagi kami untuk bersatu dalam sebuah pernikahan. Semoga
firasatku ini firasat yang baik. Semoga darinya akan lahir anak-anak
yang berkwalitas ”.
Itu sebabnya maka Khadijahpun
memberanikan diri mengutus sahabatnya, Nafisah binti Muniyah, untuk
menanyakan apa yang menjadi penghalang pemuda yang diam-diam telah
mencuri hatinya itu, sehingga ia belum juga menikah.
“ Aku tidak pernah berani berpikir ke arah itu karena aku belum memiliki cukup harta untuk meminang seseorang”,
begitu jawaban pendek Muhammad. Maka akhirnya ketika Nafisah
memberitahukan bahwa Khadijah, yang masih memiliki hubungan kekerabatan
walau jauh itu, menginginkan Muhammad melamar dirinya, Muhammad langsung
setuju. Ternyata diam-diam sang pemuda juga menyimpan rasa kagum
terhadap Khadijah. Itu sebabnya Muhammad segera melamarnya.
Dengan persetujuan kedua keluarga besar
maka menikahlah Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid.
Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun sementara Khadijah 40 tahun.
Pasangan bahagia ini hingga akhir hayat Khadijah, sang itri tercinta,
yang wafat di usianya yang ke 65 tahun, dikaruniai 4 putri dan 2 putra.
Empat putri mereka adalah Zainab, Ruqaiah, Ummi Kultsum dan Fatimah
binti Muhammad. Sedangkan dua putra mereka adalah Abdullah dan Qasim
bin Muhammad. Keduanya meninggal ketika masih kecil.
Selama 25 tahun pernikahannya itu
Muhammad tidak pernah mencoba menambah istri lagi, bahkan terpikirpun
tidak. Padahal adalah hal yang amat lazim bagi pria Arab ketika itu
untuk memiliki istri lebih dari satu.
Begitu menikah Khadijah mempercayakan
urusan perniagaannya kepada sang suami tercinta, dan di tangan Muhammad
perniagaan Khadijah semakin lancar dan maju. Sementara Khadijah sendiri
lebih konsentrasi kepada urusan rumah tangganya. Namun demikian ini
tidak berarti bahwa Muhammad lepas tangan terhadap urusan yang umumnya
dianggap sebagai urusan perempuan itu. Tidak jarang ia terlihat membantu
pekerjaan sehari-hari Khadijah. Pendek kata meskipun kini Muhammad
telah menjadi seorang saudagar kaya raya, ia tetap sederhana dan
bersahaja.
Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar
contoh yang patut menjadi keteladanan. Ia amat menyayangi istri dan
anak-anaknya yang semuanya perempuan itu. Padahal masyarakat Arab ketika
itu tidak menghargai anak perempuan. Memiliki anak perempuan dianggap
aib yang memalukan bagi kehormatan dan harga diri keluarga.
“ Dan apabila
seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu “. (QS. An-Nahl(16):58-59).
Selama itu pulalah Khadijah memperhatikan
bahwa prilaku suaminya tercinta itu tidak pernah berubah. Sabar, jujur
dan amanah adalah sifat utama beliau. Itu sebabnya orang memberinya
gelar Al-Amin (orang yang dipercaya). Ini terbukti jelas pada suatu peristiwa yang terjadi ketika Muhammad berusia 35 tahun.
Menurut Ibnu Hisyam, salah seorang
penulis kitab-klasik Shirah Nabawiyah ternama yang termasuk orang
pertama yang menulis sejarah kehidupan Rasulullah yang hidup pada
sekitar tahun 1100 M, Ka’bah sebelum zaman Islam telah mengalami
pemugaran selama 4 kali.
Pemugaran ke 4 terjadi ketika Muhammad
berusia 35 tahun. Pada mulanya pemugaran berjalan lancar, masing-masing
kelompok kabilah bekerja menurut pembagian tugas yang telah disepakati
bersama. Demikian pula Muhammad, ia turut bekerja membantu pamannya,
Al-Abbas bin Abdul–Mutthalib. Namun setelah pemugaran sampai pada tahap
peletakkan kembali batu Hajar Aswad terjadilah perselisihan.
Masing-masing kabilah merasa lebih berhak untuk melasanakan pekerjaan
tersebut.
Perselisihan berkembang menjadi
pertikaian hingga nyaris terjadi pertumpahan darah. Hal ini terus
memanas hingga berhari-hari. Beruntung akhirnya suasana mendingin
setelah semua pihak mau berkumpul dan berembug. Diputuskan bahwa
siapapun yang pertama kali memasuki pintu Ka’bah, dialah yang berhak
memutuskan perkara.
Tak lama kemudian, dalam suasana tegang tampak Muhammad berjalan menuju pintu Ka’bah. Serentak merekapun berucap : “ Nah, dialah Al-Amin (orang yang terpercaya), kita rela dan puas menerima keputusannya.!”. Setelah
Muhammad mengetahui duduk perkaranya, maka iapun meminta selembar kain,
lalu setelah kain dihamparkan ia meletakkan Hajar-Aswad ditengah-tengah
kain tersebut.
Kemudian ia berujar :” Setiap kabilah hendaknya memegang pinggiran kain, lalu angkatlah bersama-sama!”. Setelah
kain didekatkan ketempat penyimpanan Hajar-Aswad kemudian Muhammadpun
mengangkat benda tersebut dan meletakkannya pada tempatnya. Dengan cara
itu maka berakhirlah perselisihan dan semua pihak merasa puas.
Menjelang usianya yang ke 40 tahun,
Muhammad makin sering pergi menyendiri ke gua Hira’ di Jabal Nur,
sebuah bukit yang terletak sekitar 6 km sebelah timur Mekah. Tampak
bahwa Muhammad makin hari makin risau melihat masyarakat kotanya yang
makin lama makin rusak akhlaknya. Penyembahan terhadap berhala Latta,
Manat dan Uzza, ritual haji yang makin hari makin liar dimana para
jamaah melaksanakan sa’i dan thawaf dengan bertelanjang, ritual
penyembelihan hewan korban yang darahnya di oleskan ke dinding-dinding
Ka’bah dsb.
Kesemuanya ini membuat Muhammad yang
hatinya masih bersih ini prihatin. Ia yakin bahwa semua ini tidaklah
pada tempatnya. Ia bermunajat memohon petunjuk agar Allah memberi
petunjuk kepada masyarakat apa yang seharusnya mereka lakukan.
Semua ini tidak terlepas dari pengawasan
Khadijah. Dengan penuh kesetiaan dan kasih-sayangnya, ia mengutus salah
satu putrinya untuk membawakan makanan sekaligus menjenguk dan melihat
keadaan ayah mereka di atas sana.
Hingga suatu hari di bulan Ramadhan
tanggal 17 tahun 611M, Muhammad melihat sebuah sosok raksasa di atas
langit mendekatinya. Sebelum sempat berpikir tentang apa yang
dilihatnya tiba-tiba sosok tersebut telah berada disampingnya dan
mendiktekan sebuah kalimat yang tak akan pernah dilupakannya seumur
hidup.
”Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”. ( QS.Al-Alaq (96):1-5).
( Click : http://www.youtube.com/watch?v=aDZNUFcfsvo )
Sosok tersebut memaksanya untuk mengikuti
apa yang dikatakannya. Yang ketiga kalinya akhirnya sosok yang
belakangan kemudian dikenalnya sebagai malaikat Jibril itu mendekapnya
kencang-kencang hingga ia merasa tercekik dan lari pulang menuju rumah
dengan perasaan amat ketakutan.
Setibanya di rumah, Khadijah segera
menyelimut tubuh sang suami yang berkeringat dingin tersebut. Muhammad
menceritakan apa yang dialaminya. Dengan perasaan dan pandangan waswas
ia memperhatikan reaksi Khadijah, khawatir menganggap dirinya dusta
bahkan mungkin gila !
Alangkah leganya perasaan Muhammad
mendapati istrinya tercinta itu ternyata tetap mempercayainya. Dan hal
ini terus dikenangnya hingga jauh setelah kerasulan.
“Di saat semua orang mengusir dan
menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang mendustakan aku, ia
meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihkanku, ia menyerahkan
seluruh harta kekayaannya kepadaku.”
( Bersambung )
Sumber : klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar